SEMANTIK
PENGERTIAN SEMANTIK
Kata
semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang
makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli
bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal
yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama
adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik.
Pembicaraan
tentang makna kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1)
mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna (lihat juga Lyons 1,
1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena
turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat
dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi
“semantic adalah studi tentang makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam
Bauerle, 1979:195). Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari
struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam
pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa
semantik berarti teori makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama
ditemukan pula dalam Ensiklopedia Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20,
1965:313) yang terjemahannya “Semantik adalah studi tentang hubungan antara
suatu pembeda linguistic dengan hubungan proses mental atau simbol dalam
aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan penjelasan
ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang
membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
DESKRIPSI SEMANTIK
Kempson
(dalam Aarts dan Calbert, 1979:1) berpendapat, ada empat syarat yang harus
dipenuhi untuk mendeskripsikan semantik. Keempat syarat itu adalah: 1. Teori
itu harus dapat meramalkan makna setiap satuan yang muncul yang didasarkan pada
satuan leksikal yang membentuk kalimat. 2. Teori itu harus merupakan
seperangkat kaidah. 3. Tori itu harus membedakan kalimat yang secara gramatikal
benar dan yangt tidak dilihat dari segi semantik. 4. Teori tersebut dapat
meramalkan makna yang berhubungan dengan antonym, kontradiksi, sinonim.
Dalam
kaitannya dengan semiotik, Morris (1983) (dalam Levinson, 1983:1) mengemukakan
tiga subbagian yang perlu dikaji, yakni : (i) Sintaksis (syntactic) yang
mempelajari hubungan formal antara tanda dengan tanda yang lain (ii) Semantik
(semantics), yakni studi tentang hubungan tanda dengan objek, (iii) Pragmatik
(pragmatics), yakni studi tentang hubungan tanda dalam pemakaian. Manusia
berkomunikasi melalui kalimat. Kalimat yang berunsurkan kata dan unsur
suprasegmental dibebani unsure yang disebut makna, baik makna gramatikal maupun
makna leksikal, yang semuanya harus ditafsirkan atau dimaknakan dalam pemakaian
bahasa.
Diantara
pembicara dan pendengar pun terdapat unsure yang kadang-kadang tidak menampak
dalam ujaran. Ujaran yang berbunyi, “Saya marah, Saudara!” terlalu banyak perlu
dipersoalkan; misalnya, mengapa ia memarahi saya; apakah karena tidak meminjami
uang lalu ia memarahi saya? Dan apakah akibat kemarahan itu? Kelihatannya tidak
mudah mendeskripsikan semantik. Untunglah hal yang dideskripsikan masih berada
di dalam ruang lingkup jangkauan manusia.
PERBEDAAN SEMANTIK DAN PRAGMATIK
SEMANTIK
Semantik
(Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda)
adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu
bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang
berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini
adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).
Menurut Ferdinand de Saussure, tanda lingustik terdiri atas
komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa, dan komponen yang
diartikan atau makna dari komopnen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda
atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang
berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent/acuan/hal yang
ditunjuk. Jadi, semantik adalah Ilmu yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya; atau salah satu cabang
linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa (Hurford, 1984:1).
PRAGMATIK
Pragmatik adalah kajian tentang
hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang dikodekan pada
struktur bahasa (Pragmatics is the study of those relations between language
and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a
language) (Levinson, 1985: 9). Dengan kata lain, pragmatik adalah studi tentang
penggunaan bahasa dalam konteks. Pragmatik berfokus pada bagaimana penutur atau
penulis menggunakan pengetahuan mereka untuk menyatakan suatu makna (Bloomer,
2005:78).
Perbedaan
konvensional
Semantik
dan pragmatik adalah dua cabang utama dari studi linguistik makna. Keduanya
diberi nama dalam judul buku itu dan mereka akan diperkenalkan di sini.
Semantik adalah studi dari untuk arti: pengetahuan akan dikodekan dalam
kosakata bahasa dan pola untuk membangun makna lebih rumit, sampai ke tingkat
makna kalimat. Adapun pragmatik berkaitan dengan penggunaan alat-alat ini dalam
komunikasi yang bermakna. Pragmatik adalah tentang interaksi pengetahuan
semantik dengan pengetahuan kita tentang dunia, mempertimbangkan konteks yang
digunakan. Secara konvensional, perbedaan antara semantik dan pragmatik dinilai
berdasarkan tiga hal: (1) linguistics meaning vs. use, (2) truth-conditional
vs. non-truth-conditional meaning, dan (3) context independence vs.
context dependence (Bach, dalam Turner 1999:70). Berikut penjelasannya.
Linguistics
meaning vs. use
Linguistics
meaning atau makna linguistik (bahasa) dibedakan dengan use atau pemakaiannya.
Secara sepintas, semantik dan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang sama-sama
menelaah makna-makna satuan lingual. Perbedaannya, semantik mempelajari makna
linguistik atau makna bersifat internal, sedangan pragmatik mempelajari makna
penutur atau makna dalam penutur dan bersifat eksternal yang berhubungan dengan
konteks. Dengan kata lain, semantik mempelajari arti harfiah dari sebuah, ide
sedangkan pragmatik adalah makna tersirat dari ide yang diberikan.
Bila
diamati lebih jauh, makna yang menjadi kajian dalam semantik adalah makna
linguistik (linguistics meaning) atau makna semantik (semantic sense),
sedangkan yang dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning
atau speaker sense) (verhaar, 1977; Parker, 1986:32).
Semantik
adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna
tuturan (utterance). Semantik adalah ilmu linguistik yang mempelajari makna
yang terkandung di dalam morfem, kata, frasa, dan kalimat yang bebas konteks.
Makna linguistik di sini adalah makna yang terdapat di dalam bahasa, yang
distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama
oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar (Subroto,
1999:111). Dalam pragmatik maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense)
yaitu bahwa sense berhubungan erat dengan suatu system yang kompleks dari
elemen linguistik, yaitu kata-kata. Sense menitikberatkan pada makna kalimat
dan hubungannya dengan makna kata (Palmer, 1981:9). Dapat dikatakan bahwa
maksud penutur di sini tidak terlepas dari konteks kalimat, apa yang dimaksud
penutur belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh lawan tutur.
Dalam
pragmatik jika dalam pemakaiannya terjadi kesalahan pemakaian tatabahasa yang
disengaja oleh penutur, maka dikatakan bahwa terdapat maksim(-maksim) tindak
tutur yang dilanggar. Sementara itu, semantik tidak menganalisis bahasa dari
sisi pemakaiannya sehingga jika terjadi kesalahan penutur yang disengaja,
semantik tidak dapat menentukan meaning sesungguhnya dari penutur tersebut
karena hanya didasarkan atas meaning secara umum.
Contoh:
Dalam kalimat berikut, B menjawab
pertanyaan A dengan setidaknya tiga kemungkinan cara untuk menyatakan ”belum”
atau “tidak ingin makan”.
A : siang ini kamu sudah makan?
B(1) : saya belum makan. Tapi saya
tidak ingin makan.
B (2) : saya sudah makan barusan.
(berbohong)
B(2) : saya masih kenyang, kok.
Untuk
mengatakan maksudnya, B setidaknya dapat mengutarakan dengan tiga tuturan: B(1)
secara langsung menyatakan maksud dan alasannya; B(2) dengan berbohong, secara
tidak langsung ia menyatakan tidak ingin makan; B(3) demi alasan kesopanan, dan
secara tidak langsung juga, mengimplikasikan ia tidak ingin makan. Untuk
menjawab pertanyaan A, meskipun juga tidak dapat menjelaskan dengan sangat
tepat, semantik hanya dapat menganalisis meaning dengan jelas pada kalimat B(1)
karena kalimat tersebut secara langsung menjawab pertanyaan A, namun semantik
tidak dapat menjelaskan secara tepat meaning dari B(2) dan B(3) karena B
menjawabnya secara tidak langsung sehingga memerlukan pemahaman terhadap
situasi di sekitarnya.
Truth-conditional
vs. non-truth-conditional meaning
Cruse
(2006:136) memuat perbedaan-perbedaan antara semantik dan pragmatik. Semantik
berhubungan dengan aspek-aspek truth conditional makna, yaitu jika sebuah
pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat
analitis, misalnya ‘kucing menyapu halaman’ adalah yang tidak berterima secara
semantik karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk
pernyataan logika.
Blackmore
mengutarakan tentang truth conditional semantics, yaitu apabila kita melihat
suatu frasa/kalimat/satuan bahasa yang dapat diverivikasi kebenarannya, satuan
bahasa berhubungan dengan aspek-aspek makna yang bebas konteks, misalnya kata
“I’m sorry” sulit untuk menemukan verifikasi apakah orang yang menyatakan frasa
tersebut benar-benar minta maaf atau tidak.
Semantik
berhubungan dengan aspek-aspek makna konvensional, yakni bahwa terdapat
hubungan yang tetap antara makna dan bentuk serta semantik berhubungan dengan
deskripsi makna sehingga dikatakan bahwa semantik mengambil pendekatan formal
dengan memfokuskan bentuk fonem, morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat.
Sementara itu, pragmatik berhubungan dengan aspek-aspek non-truth conditional
makna, berhubungan dengan aspek-aspek yang memperhitungkan konteks, berhubungan
dengan aspek-aspek makna yang tidak looked up, tetapi worked out pada peristiwa
penggunaan tertentu dan pragmatik berhubungan dengan penggunaan-penggunaan
makna tersebut, oleh karena itu pragmatik dikatakan mengambil pendekatan
fungsional.
Context
independence vs. context dependence
Yang
dimaksud dengan makna secara internal adalah makna yang bebas konteks
(independent context); maksudnya, makna tersebut dapat diartikan tanpa adanya
suatu konteks atau makna yang terdapat dalam kamus, sedangkan makna yang dikaji
secara eksternal, yaitu makna yang terikat konteks (context dependent)
maksudnya satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan tersebut dapat dijelaskan
apabila ada suatu konteks, yaitu konteks siapa yang berbicara, kepada siapa
orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, dimana, dan apa
tujuanya sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di
sekitarnya. Tanpa memahami konteks, lawan tutur bahasa akan kesulitan memahami
maksud penutur. Konteks di sini meliputi tuturan sebelumnya, penutur dalam
peristiwa tutur, hubungan antar penutur, pengetahuan, tujuan, setting social
dan fisik peristiwa tutur (Cruse, 2006:136).
Contoh :
1. Prestasi kerjanya yang bagus
membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan yang kedua
2. Presiden itu sedang menuruni
tangga pesawat
Dalam
contoh di atas kata bagus dan presiden mempunyai makna semantik atau makna
secara internal, sedangkan secara eksternal, bila dilihat dari penggunaanya
kata bagus tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu juga presiden
tidak selalu bermakna ‘kepala negara’ seperti dalam contoh:
3. Ayah : Bagaimana nilai ujianmu?
Budi : Iya, hanya dapat 50, pak.
Ayah : Bagus, besok jangan belajar.
4. Awas, presidennya datang!
Kata
bagus dalam (3) tidak bermakna ‘baik’ atau tidak buruk’, tetapi sebaliknya.
Sementara itu, bila kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata presiden tidak
bermakna ‘kepala negara’, tetapi bermakna seseorang yang secara ironis pantas
mendapatkan sebutan itu. Sehubungan dengan keterikatan itu tidak hanya bagus
dalam dialog (3) bermakna ‘buruk’, melainkan besok jangan belajar dan nonton
terus saja juga bermakna ‘besok rajin-rajinlah belajar’ dan ‘hentikan hobi
menontonmu’.
Berlawanan
dengan banyak formulasi yang telah muncul sejak awal perumusan Morris pada tahun 1938, perbedaan
semantik-pragmatik tidak tidak sesuai antara satu perumusan
dengan perumusan lainnya(Bach dalam Turner, 1999: 73).
Menurut
Bach, perumusan perbedaan semantik-pragmatik dapat mengambil perbedaan dengan
mengacu pada fakta-fakta bahwa:
• hanya isi literal yang relevan
secara semantis
• beberapa ekspresi sensitif dalam
hal konteks terhadap makna
• konteks yang dekat cukup relevan
dengan semantik, namun untuk konteks luas lebih dekat ke pragmatik
• non-truth-conditional
(kebenaran-tak-bersyarat) menggunakan informasi terkait agar bahasa dapat
dikodekan
• aturan dalam menggunakan ekspresi
tidak menentukan penggunaannya secara aktual
• kalimat yang diucapkan sebenarnya
adalah fakta pragmatis
JENIS
MAKNA
Makna
Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
v Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada
dimiliki ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal `sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai`; pinsil bermakna leksikal `sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu
dan arang`; dan air bermakna leksikal
`sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari`. Dengan
contoh ini dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebernarnya, atau makna yang sesuai dengan hasil
observasi indra kita, atau makna apa
adanya.
v Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru
ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi,
atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal `mengenakan atau memakai baju`;
dengan dasar kuda melahirkan makna
gramatikal `mengendarai kuda`; dengan dasar rekreasi
melahirkan makna gramatikal `melakukan rekreasi`.
v Makna kontektual adalah makna sebuah leksem atau kata
yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
Rambut di kepala nenek belum
ada yang putih.
Sebagai kepala sekolah dia
harus menegur murid itu.
Nomor teleponnya ada pada kepala
surat itu.
Beras kepala harganya lebih
mahal dari beras biasa.
Kepala paku
dan kepala jarum tidak sama
bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat,
waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
Makna
Referensial dan Non-referensial
v Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial
kalau ada referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar
adalah termasuk kata –kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam
dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan,
atau, dank arena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial,
karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan
acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-kata deiktik, yang acuannya
tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu
kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata
yang termasuk pronominal, seperti dia,
saya, dan kamu; kata-kata yang
menyatakan ruang, seperti di sini, di
sana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata yang disebut kata
penunjuk, seperti ini dan itu.
Makna
Denotatif dan Makna Konotatif
v Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau
makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini
sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif
`sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya`.
Kata rombongan bermakna denotatif `sekumpulan orang yang
mengelompok menjadi satu kesatuan`.
v Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan”
pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau
kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umapanya kata babi pada contoh di atas, pada orang
yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang
negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu.
Berkenaan dengan
masalah konotasi ini, satu hal yang harus Anda ingat adalah bahwa konotasi
sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain, antara satu daerah
dengan daerah lain, atau antara satu masa dengan masa yang lain. Begitulah
dengan kata babi di atas; berkonotasi
negatif bagi yang beragama Islam, tetapi tidak berkonotasi negatif bagi yang
tidak beragama Islam.
Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
v Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh
sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual `sejenis
binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai`; dan kata rumah memiliki
makna konseptual `bangunan tempat tinggal manusia`. Jadi, makna konseptual
sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna
referensial.
v Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah
leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengans sesuatu yang
berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian; kata merah berasosiasi dengan `berani` atau juga `paham komunis`; dan
kata buaya berasosiasi dengan `jahat`
atau juga `kejahatan`.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang
digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang
mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal
kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati
yang bermakna konseptual `sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau
harum` digunakan untuk menyatakan perlambang `kesucian`.
Oleh Leech (1976) ke dalam makna asosiatif ini dimaksukkan juga yang
disebut makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna stilistika berkenaan dengan
pembedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang
kegiatan. Umpamanya, kita membedakan penggunaan kata rumah, pondok, kediaman, kondomium, istana, vila, dan wisma, yang semuanya memberi asosiasi
yang berbeda terhadap penghuninya. Makna
afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau
terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa
lisan.
Contoh : “Tutup mulut kalian!” bentaknya kepada kami.
“Coba, mohon diam sebentar!” katanya kepada
kami.
Makna kolokatif
berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari
sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk
digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Misalnya, kata tampan yang sesungguhnya bersinonim
dengan kata-kata cantik dan indah,
hanya cocok atau hanya berkolokasi dengan kata yang memiliki ciri `pria`.
Kita dapat mengatakan pemuda tampan,
atau pangeran tampan, tetapi tidak
dapat mengatakan *gadis tampan atau putri tampan. Jadi, kata tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis dan kata putri.
Makna
Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau
leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah
makna leksikal, makna denotative, atau makna konseptual. Namun, dalam
penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di
dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak
pada contoh di bawah ini.
Tangannya luka
kena pecahan kaca.
Lengannya luka
kena pecahan kata.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau bermakna
sama.
Berbeda dengan
kata, maka yang disebut istilah
mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa
konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks.
Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan
atau kegiatan tertentu. Umpamanya, kata tangan
dan lengan dalam ilmu kedokteran
mempunyai makna yang berbeda.
Makna
Idiom dan Peribahasa
v Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
“diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara
gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna `yang menjual menerima uang dan yang membeli
menerima rumahnya`. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna
idiomatikal. Contoh lain adalah bentuk membanting
tulang dengan makna `bekerja keras`, meja
hijaui dengan makna `pengadilan`, dan sudah
beratap sengi dengan makna `sudah tua`.
Biasanya dibedakan orang adanya dua macam idiom, yaitu
yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan
idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu
kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk
seperti membanting tulang, menjual gigi, dan
meja hijau termasuk contoh idiom
penuh. Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku
putih yang bermakna `buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu
kasus`.
v Pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri
atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna
asli dengan maknanya sebagai pribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan kucing yang
bermakna `dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur`. Makna ini memiliki
asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing
dan kucing jika bersua memang selalu
berkelahi, tidak pernah damai. Contoh lain, tong
kosong nyaring bunyinya yang bermakna `orang yang banyak cakapnya biasanya
tidak berilmu.
Idiom dan
peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada
bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk
mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari harus melihatnya di dalam
kamus; khususnya kamu peribahasa dan kamus idiom.
RELASI
MAKNA
Relasi makna
adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan
satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata. Frase, maupun
kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan
makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Sinonim
Sinonim atau
sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara
satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar; antara kalimat Dika
menendang bola dengan bola ditendang
Dika.
|
|
Antonim
Kata
antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim
berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam
bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan
lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk;
kata besar berantonim dengan kata kecil.
Antonim atau
antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya
menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang
lain. Misalnya, kata buruk berantonim
dengan kata baik; kata mati berantonim dengan kata hidup; kata guru berantonim dengan kata murid.
Polisemi
Sebuah kata atau
satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu.
Misalnya, kata kepala yang setidaknya
mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu
yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat, (5) sesuatu atau
bagian yang sangat penting. Lihat contoh!
(1) Kepalanya luka kena pecahan kaca
(2) Kepala kantor itu bukan paman saya
(3) Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor
(4) Kepala jarum itu terbuat dari plastic
(5) Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting
Dalam kasus
polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah
makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna
konseptualnya. Yang lain adalah makna yang dmiliki kata atau satuan ujaran itu.
Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang
artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat
diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik,
Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa
atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa
atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang
homonim bersifat dua arah.
Homonimi adalah kata-kata yang sama bunyi dan
bentuknya tetapi mengandung makna dan pengertian yang berbeda, karena
masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya,
antara kata pacar yang bermakna
`inai` dan kata pacar yang bermakna
`kekasih`; antara kata bisa yang
berarti `racun ular` dan kata bisa
yang berarti `sanggup`.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk
homonimi, yaitu:
- bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
- bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa
dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan
ujaran , tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama atau berbeda. Sedangkan
homografi mengacu pada bentuk ujaran
yang sama ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Homonimi yang homograf dan homofon
adalah sama bunyi sama bentuknya.
Contoh: bisa sanggup, dapat
bisa racun
ular
jagal
pedagang kecil
jagal
orang yang bertugas menyembelih binatang
padan
banding
padan
batas
padan
janji
padan
curang
padan
layar
Homonimi yang tidak homograf tetapi
homofon adalah bentuknya tidak sama tetapi bunyinya sama.
Contoh: bang bentuk singkatan dari
abang
bank
lembaga yang mengurus uang
sangsi
ragu
sanksi
akibat
syarat
janji
sarat
penuh dan berat
Homonimi yang homograf tidak homofon
sama bentuk tetapi tidak bunyinya.
Contoh: teras hati kayu atau
bagian dalam kayu
teras
pegawai utama
teras
bidang tanah datar yang miring atau lebih tinggi dari yang lain
Hiponimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma
berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah
berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar
(1978: 137) menyatakan hiponim ahíla ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi
kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian
dari makna statu ungkapan lain.
Kalau relasi
antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua
arah, maka relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas
bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna
kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi
terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang
hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan
pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata sifat.
Merpati berhoponim
dengan burung, burung bukan berhiponim dengan merpati,
melainkan berhipernim. Dengan kata
lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung. Burung adalah hipernim dari merpati.
Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya
kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal
yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis
unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, buku sejarah baru dapat ditafsirkan
maknanya dengan (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat
sejarah zaman baru.








![]() |









Bentuk ujaran anak
dosen yang nakal juga bermakna ganda. Maknanya mungkin (1) `anak itu yang
nakal`, atau (2) `dosen itu yang nakal`. Kedua makna itu karena tafsiran
gramatikalnya tidak sama.
Redundansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai
‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara
semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar
semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah
statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan
informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
Misalnya kalimat bola
itu ditendang oleh Dika, tidak akan berbeda maknanya bila dikatan bola ditendang Dika. Jadi, tanpa
menggunakan preposisi oleh.
Penggunaan kata oleh inilah yang
dianggap redundansi, berlebih-lebihan.
Pengertian Pragmatik
Para pakar
pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3),
misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji
makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang
yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang
mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang
terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan
dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut
pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker
meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan
pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya
Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis
yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks
ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari
sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji
makna dalam interaksi (meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan
2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang
mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu
melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat
semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat
semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
B. Interaksi dan Sopan Santun
Seperti telah
dikatakan di awal bab ini, hal-hal di luar bahasa mempengaruhi pemahaman kita
pada hal di dalam bahasa. Untuk memahami apa yang terjadi di dalam sebuah
percakapan, misalnya, kita perlu mengetahui siapa saja yang terlibat di
dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak sosial di antara mereka, atau status
relatif di anatara mereka. Marilah kita perhatikan penggalan-penggalan
percakapan berikut ini. (1) A: Setelah ini, kerjakan yang lain. B: Baik, Bu.
(2) C: Bantuin, dong! D: Sabar sedikit kenapa, sih?
Sebagai
penutur bahasa Indonesia, Anda akan dengan mudah mengatakan bahwa di dalam
penggalan percakapan (1) status social A lebih tinggi dari B, sedangkan di
dalam penggalan percakapan (2) C dan D mempunyai kedudukan yang sama. Sebuah
interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat tertentu
terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santu. Bentuk sopan
santun dapat diungkapkan dengan berbagai hal. Salah satu penanda sopan santun
adalah penggunaan bentuk pronominal tertentu dalam percakapan. Di dalam bahasa
Indonesia kita jumpai anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak
bicara. Di dalam bahasa Prancis kita jumpai pembedaan kata tu dan vouz untuk
menyebut orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun adalah
pengungkapan suatu hal dengan cara tidak langsung. Contoh ketidaklangsungan
dapat kita lihat dalam penggalan percakapan berikut ini. (3) A: Hari ini ada
acara? B : Kenapa ? A : Kita makan-makan, yuk! B: Wah, terima kasih, deh. Saya
sedang banyak tugas! Di dalam penggalan percakapan di atas, B secara tidak
langsung menolak ajakan A untuk makan. B sama sekali tidak mengatakan kata
tidak. Akan tetapi, A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan B adalah sebuah
penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan oleh B bukanlah bentuk
penghargaan terhadap suatu pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus.
Hal ini juga diperkuat oleh kalimat yang diujarkan B selanjutnya. Di dalam
percakapan, ketidaklangsungan juga ditemukan dalam bentuk pra-urutan
(pre-sequences). Kita juga sering menemukannya dalam situasi sehari-hari. Di
dalam penggalan percakapan (3) di atas kita melihat pra-ajakan pada kalimat
pertama yang diucapkan oleh A. Di dalam penggalan percakapan (4) kita melihat
prapengumuman pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. (4) A: Sebelumnya
saya mohon maaf. B: Ada apa, Pak? A: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa.
Kita dapat melihat bahwa suatu hal yang diungkapkan dalam percakapan akan lebih
berterima jika ada semacam “pembuka” di dalamnya. Permohonan maaf dari A pada
contoh (4) di atas merupakan sebuah pengantar untuk penyampaian maksud yang
sebenarnya. Salah satu bentuk ketidaklangsungan dapat ditemukan di dalam mkasud
yang tersirat di dalam suatu ujaran. Di dalam hal ini, ketidaklangsungan
mensyaratkan kemampuan seseorang untuk menangkap maksud yang tersirat, misalnya
kita perhatikan contoh berikut. (5) A: Tong sampah sudah penuh. B: Tunggu, ya.
Aku baca Koran dulu. Nanti kubuang, deh ! Di dalam contoh di atas, A tidak
menyuruh B secara langsung untuk membuang sampah. Akan tetapi, B dapat
menangkap maksud yeng tersirta di dalam ujran A. dapat kita bayangkan bahwa
setelah B membaca Koran ia akan membuang sampah karena hal ini dapat kita
simpulkan dari jawaban B di atas. Jika B tidak peka terhadap maksud A, tentu
jawabannya akan berbeda. Bayangkan saja kalau B hanya menjawab, “Ya, betul.”
C. Implikatur Percakapan
Di dalam
bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa di dalam percakapan seorang
pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang
terkandung di dalam ujaran ini disebut implikatur. Pembicara di dalam
percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan denga situasi di
dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh pendengarnya. Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh
pembicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam
kajian pragmatic, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice (1975) menungkapkan
bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat
maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam
berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan
jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
a) Maksim
Kuantitas Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus
memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Kalimat (6)
menunjukkan kontribusi yang cukup kepada mitra tuturnya. Bandingkanlah dengan
kalimat (7) yang tersa berlebihan. (6) Anak gadis saya sekarang sudah punya
pacar. (7) Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. Di dalam kalimat
(7) kata gadis sudah mencakup makan ‘perempuan’ sehingga kata perempuan dalam
kalimat tersebut memberikan kontribusi yang berlebih. Maksim kuantitas juga
dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas, yang menunjukkan keterbatas penutur
dalam mengungkapkan informasi. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan di awal
kalimat seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan
sebagainya.
b) Maksim Kualitas Berdasarkan maksim
kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Misalnya,
seorang mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya mengatakan bahwa Kampus Baru
Universitas Indonesia terletak di Depok., bukan kota lain, kecuali jika ia
benar-benar tidak tahu. Kadang kala, penutur tidak merasa yakin dengan apa yang
dinformasikannya. Ada cara untuk mengungkapkan keraguan seperti itu tanpa harus
menyalahi maksim kualitas. Seperti halnya maksim kuantitas, pemenuhan maksim
kualitas oleh ungkapan tertentu. Ungkapan di awal kalimat seperti setahu saya,
kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya, menunjukkan pembatas yang
memenuhi maksim kualitas.
c) Maksim
Relevansi Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Bandingkanlah penggalan
percakapan (8) dan (9) berikut ini. (8) A: Kamu mau minum apa? B: Yang
hangat-hangat saja. (9) C: Kamu mau minum apa? D : Sudah saya cuci kemarin. Di
dalam penggalan percakapan (8) kita dapat melihat bahwa B sudah mengungkapkan
jawaban yang relevan atas pertanyaan A. Di dalam penggalan percakapan (9),
sebagai penutur bahasa Indonesia kita dapat mengerti bahwa jawaban D bukanlah
jawaban yang relevan dengan pertanyaan C. Topik-topik yang berbeda di dalam
sebuah percakapan dapat menjdi relevan jika mempunyai kaitan. Di dalam
hubungannya dengan maksim relevansi, kaitan ini dapat dilihat sebagai pembatas.
Ungkapan-ungkapam di awal kalimat seperti Ngomong-ngomong…, Sambil lalu…, atau
By the way… merupakan pembatas yang memenuhi maksim relevansi.
d) Maksim
Cara Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung
dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga
harus menfsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan
konteks pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan percakapan (10) dan
(11) (10) A: Mau yang mana, komedi atau horor? B: Yang komedi saja. Gambarnya
juga lebih bagus. (11) C: Mau yang mana, komedi atau horor? D: Sebetulnya yang
drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua. Tapi ceritanya tidak
jelas arahnya. Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak mengerti. C: Jadi kamu
pilih yang mana? Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita dapat melihat
bahwa jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran
terhadap maksim cara dapat dilihat dari jawaban D. Untuk memenuhi maksim cara,
adakalanya kelugasan tidak selalubermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini
dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan
santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara dapat menyatakan ungkapan
seperti Bagaimana kalau…, Menurut saya… dan sebagainya.
D. Pelanggaran Terhadap
Maksim Percakapan
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan
kesan yang janggal, kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan
berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah
yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor. Ada berbagai bentuk pelanggaran di
dalam maksim-maksim percakapan. Tentu kita pun pernah mengalami situasi yang
janggal karena ada pembicara yang bertele-tele menyampaikan maksudnya, ada
kesalahpahaman, ketidaksinkronan, dan sebagainya. Pengetahaun kita mengenai
maksim-maksim di atas akan sangat membantu kita dalam memahami situasi yang
demikian.
E. Tindak Tutur
Di dalam
pertuturan ada pertuturan lokusioner, pertuturan ilokusioner, dan pertuturan
perlokusioner. Pertuturan lokusioner adalah dasar tindakan dalam suatu ujaran,
atau pengungkapan bahasa. Di dalam pengungkapan itu ada tindakan atau maksud
yang menyertai ujaran tersebut, yang disebut pertuturan ilokusioner.
Pengungkapan bahasa tentunya mempunyai maksud, dan maksud pengunkapan itu
diharapkan mempunyai pengaruh. Pengaruh dari pertuturan ilokusioner dan
pertuturan lokusioner itulah yang disebut pertuturan perlokusioner. Pertuturan
ilokusioner bertujuan menghasilkan ujaran yang dikenal dengan daya ilokusi
ujaran. Dengan daya ilokusi, seorang penutur menyampaikan amanatnya di dalam
percakapan, kemudian amanat itu dipahami atau ditanggapi oleh pendengar.
Berdasarkan tujuannya, pertututan dapat dikelompokkan seperti berikut ini.
1. Asertif,
yang melibatkan penutur kepada kebenaran atau kecocokan proposisi, misalnya
menyatakan, menyarankan, dan melaporkan.
2. Direktif,
yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari mitra tutur, misalnya
menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan.
3. Komisif,
yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat selanjutnya, misalnya
berjanji, bersumpah, dan mengancam.
4. Ekspresif,
yang memperlihatkan sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima
kasih, mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf.
5.
Deklaratif, yang menunjukkan perubahan setelah diujarkan, misalnya
membaptiskan, menceraikan, menikahkan, dan menyatakan.
F. Referensi dan Inferensi
Referensi
adalah hubungan di antara unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa
dengan lambang yang dipakai untuk mewakili atau menggambarkannya. Referensi di
dalam kajian pragmatik merupakan cara merujuk sesuatu melalui bentuk bahasa
yang dipakai oleh penutur atau penulis untuk menyampaikan sesuatu kepada mitra
tutur atau pembaca. Berkaitan dengan referensi adalah inferensi. Inferensi
adalah pengetahuan tambahan yang dipakai oleh mitra tutur atau pembaca untuk
memahami apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit di dalam ujaran.
Untuk
memahami referensi dan inferensi, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut
ini. (1) Seseorang suka mendengarkan musik dangdut. (2) Orang itu suka
mendengarkan musik dangdut. (3) Orang suka mendengarkan musik dangdut. Sebagai
penutur bahasa Indonesia, kita mengetahui bahwa seseorang adalah ‘orang yang
tidak dikenal’ dan orang itu adalah orang yang ada didekat kita bicara. Kalimat
(1) diatas mempunyai referensi tak takrif, artinya referensi yang tidak tentu.
Kalimat (2) mempunyai takrif, apa yang dirujuknya jelas dan bertolak pada
rujukan tertentu, sedangkan kalimat (3) mempunyai referensi generic, tidak
merujuk kepada sesuatu yang khusus, dan lebih menekankan pada sesuatu yang
umum.
G. Deiksis
Deiksis
adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitanerat dengan konteks penutur.
Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan
penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang,
deiksis persona, dan deiksis waktu. Ketiga jenis deiksis ini bergantung pada
interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis dan pembaca, yang berada di
dalam konteks yang sama.
a. Deiksis Ruang
Deiksis ruang
berkaitan dengan lokasi relative penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam
interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal di sini, di situ,
dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu. Marilah kita
lihat contoh berikut. A dan B sedang terlibat di dalam percakapan. A mengambil
sepotong kue dan mengatakan, “Kue ini enak.” Apa yang ditunjuk oleh A, kue ini,
tentu akan disebut B sebagai kue itu. Hal ini terjadi karena titik tolak A dan
B berbeda. Kita juga mengenal kata-kata seperti di sini, di situ dan ini
merujuk kepada sesuatu yang kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh penutur.
Selain itu, ada kata-kata seperti di sana dan itu yang merujuk pada sesuatu
yang jauh atau tidak kelihatan, atau jaraknya tidak terjangkau oleh penutur.
Dalam hal tertentu, tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita
hendak menunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya kita memakai
kata begini. Jika kita hendak merujuk kepada suatu tindakan., kita memakai kata
begitu.
b. Deiksis Persona
Deiksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk
pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal
orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam
bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk
jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang pertama Orang kedua Orang ketiga
aku, saya engkau, kau, kamu, anda ia, dia, beliau kami, kita kamu, kalian
mereka Kadang-kadang penutur bahasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. Di
antara penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kamu
atau saya, melaikan juga Bapak, Ibu, atau Saudara.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu
berkaitan dengan waktu relative penutur atau penulis dan mitra tutur atau
pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda. Ada yang
mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu. Bahasa Indonesia
mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu
lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok juga
merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan.
KESIMPULAN
Semantik dan
pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi
linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang disebut klasifikasi makna, relasi
makna, erubahan makna, analisis makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan
dalam pragmatik kita mengenal yang disebut interaksi dan sopan santun,
implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan inferensi serta deiksis.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pragmatik berhubungan dengan
pemahaman kita terhadap hal-hal di luar bahasa. Akan tetapi, hal-hal yang
dibicarakan di dalam pragmatik sangat erat pula kaitannya dengan hal-hal di
dalam bahasa. Adapun semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan
makna yaitu makna kata dan makna kalimat.