Kamis, 18 Oktober 2012

Materi Kelompok Semantik & Pragmatik


SEMANTIK

 PENGERTIAN SEMANTIK
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik.
Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic adalah studi tentang makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195). Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya “Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistic dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
DESKRIPSI SEMANTIK
 Kempson (dalam Aarts dan Calbert, 1979:1) berpendapat, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendeskripsikan semantik. Keempat syarat itu adalah: 1. Teori itu harus dapat meramalkan makna setiap satuan yang muncul yang didasarkan pada satuan leksikal yang membentuk kalimat. 2. Teori itu harus merupakan seperangkat kaidah. 3. Tori itu harus membedakan kalimat yang secara gramatikal benar dan yangt tidak dilihat dari segi semantik. 4. Teori tersebut dapat meramalkan makna yang berhubungan dengan antonym, kontradiksi, sinonim.
Dalam kaitannya dengan semiotik, Morris (1983) (dalam Levinson, 1983:1) mengemukakan tiga subbagian yang perlu dikaji, yakni : (i) Sintaksis (syntactic) yang mempelajari hubungan formal antara tanda dengan tanda yang lain (ii) Semantik (semantics), yakni studi tentang hubungan tanda dengan objek, (iii) Pragmatik (pragmatics), yakni studi tentang hubungan tanda dalam pemakaian. Manusia berkomunikasi melalui kalimat. Kalimat yang berunsurkan kata dan unsur suprasegmental dibebani unsure yang disebut makna, baik makna gramatikal maupun makna leksikal, yang semuanya harus ditafsirkan atau dimaknakan dalam pemakaian bahasa.
Diantara pembicara dan pendengar pun terdapat unsure yang kadang-kadang tidak menampak dalam ujaran. Ujaran yang berbunyi, “Saya marah, Saudara!” terlalu banyak perlu dipersoalkan; misalnya, mengapa ia memarahi saya; apakah karena tidak meminjami uang lalu ia memarahi saya? Dan apakah akibat kemarahan itu? Kelihatannya tidak mudah mendeskripsikan semantik. Untunglah hal yang dideskripsikan masih berada di dalam ruang lingkup jangkauan manusia.
PERBEDAAN SEMANTIK DAN PRAGMATIK
SEMANTIK
Semantik (Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).
Menurut Ferdinand de Saussure, tanda lingustik terdiri atas komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa, dan komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent/acuan/hal yang ditunjuk. Jadi, semantik adalah Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya; atau salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa (Hurford, 1984:1).
PRAGMATIK
Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang dikodekan pada struktur bahasa (Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language) (Levinson, 1985: 9). Dengan kata lain, pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam konteks. Pragmatik berfokus pada bagaimana penutur atau penulis menggunakan pengetahuan mereka untuk menyatakan suatu makna (Bloomer, 2005:78).
Perbedaan konvensional
Semantik dan pragmatik adalah dua cabang utama dari studi linguistik makna. Keduanya diberi nama dalam judul buku itu dan mereka akan diperkenalkan di sini. Semantik adalah studi dari untuk arti: pengetahuan akan dikodekan dalam kosakata bahasa dan pola untuk membangun makna lebih rumit, sampai ke tingkat makna kalimat. Adapun pragmatik berkaitan dengan penggunaan alat-alat ini dalam komunikasi yang bermakna. Pragmatik adalah tentang interaksi pengetahuan semantik dengan pengetahuan kita tentang dunia, mempertimbangkan konteks yang digunakan. Secara konvensional, perbedaan antara semantik dan pragmatik dinilai berdasarkan tiga hal: (1) linguistics meaning vs. use, (2) truth-conditional vs. non-truth-conditional meaning, dan (3) context independence vs. context dependence (Bach, dalam Turner 1999:70). Berikut penjelasannya.
Linguistics meaning vs. use
Linguistics meaning atau makna linguistik (bahasa) dibedakan dengan use atau pemakaiannya. Secara sepintas, semantik dan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang sama-sama menelaah makna-makna satuan lingual. Perbedaannya, semantik mempelajari makna linguistik atau makna bersifat internal, sedangan pragmatik mempelajari makna penutur atau makna dalam penutur dan bersifat eksternal yang berhubungan dengan konteks. Dengan kata lain, semantik mempelajari arti harfiah dari sebuah, ide sedangkan pragmatik adalah makna tersirat dari ide yang diberikan.
Bila diamati lebih jauh, makna yang menjadi kajian dalam semantik adalah makna linguistik (linguistics meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan yang dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) (verhaar, 1977; Parker, 1986:32).
Semantik adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Semantik adalah ilmu linguistik yang mempelajari makna yang terkandung di dalam morfem, kata, frasa, dan kalimat yang bebas konteks. Makna linguistik di sini adalah makna yang terdapat di dalam bahasa, yang distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar (Subroto, 1999:111). Dalam pragmatik maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) yaitu bahwa sense berhubungan erat dengan suatu system yang kompleks dari elemen linguistik, yaitu kata-kata. Sense menitikberatkan pada makna kalimat dan hubungannya dengan makna kata (Palmer, 1981:9). Dapat dikatakan bahwa maksud penutur di sini tidak terlepas dari konteks kalimat, apa yang dimaksud penutur belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh lawan tutur.
Dalam pragmatik jika dalam pemakaiannya terjadi kesalahan pemakaian tatabahasa yang disengaja oleh penutur, maka dikatakan bahwa terdapat maksim(-maksim) tindak tutur yang dilanggar. Sementara itu, semantik tidak menganalisis bahasa dari sisi pemakaiannya sehingga jika terjadi kesalahan penutur yang disengaja, semantik tidak dapat menentukan meaning sesungguhnya dari penutur tersebut karena hanya didasarkan atas meaning secara umum.
Contoh:
Dalam kalimat berikut, B menjawab pertanyaan A dengan setidaknya tiga kemungkinan cara untuk menyatakan ”belum” atau “tidak ingin makan”.
A : siang ini kamu sudah makan?
B(1) : saya belum makan. Tapi saya tidak ingin makan.
B (2) : saya sudah makan barusan. (berbohong)
B(2) : saya masih kenyang, kok.
Untuk mengatakan maksudnya, B setidaknya dapat mengutarakan dengan tiga tuturan: B(1) secara langsung menyatakan maksud dan alasannya; B(2) dengan berbohong, secara tidak langsung ia menyatakan tidak ingin makan; B(3) demi alasan kesopanan, dan secara tidak langsung juga, mengimplikasikan ia tidak ingin makan. Untuk menjawab pertanyaan A, meskipun juga tidak dapat menjelaskan dengan sangat tepat, semantik hanya dapat menganalisis meaning dengan jelas pada kalimat B(1) karena kalimat tersebut secara langsung menjawab pertanyaan A, namun semantik tidak dapat menjelaskan secara tepat meaning dari B(2) dan B(3) karena B menjawabnya secara tidak langsung sehingga memerlukan pemahaman terhadap situasi di sekitarnya.
Truth-conditional vs. non-truth-conditional meaning
Cruse (2006:136) memuat perbedaan-perbedaan antara semantik dan pragmatik. Semantik berhubungan dengan aspek-aspek truth conditional makna, yaitu jika sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis, misalnya ‘kucing menyapu halaman’ adalah yang tidak berterima secara semantik karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika.
Blackmore mengutarakan tentang truth conditional semantics, yaitu apabila kita melihat suatu frasa/kalimat/satuan bahasa yang dapat diverivikasi kebenarannya, satuan bahasa berhubungan dengan aspek-aspek makna yang bebas konteks, misalnya kata “I’m sorry” sulit untuk menemukan verifikasi apakah orang yang menyatakan frasa tersebut benar-benar minta maaf atau tidak.
Semantik berhubungan dengan aspek-aspek makna konvensional, yakni bahwa terdapat hubungan yang tetap antara makna dan bentuk serta semantik berhubungan dengan deskripsi makna sehingga dikatakan bahwa semantik mengambil pendekatan formal dengan memfokuskan bentuk fonem, morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. Sementara itu, pragmatik berhubungan dengan aspek-aspek non-truth conditional makna, berhubungan dengan aspek-aspek yang memperhitungkan konteks, berhubungan dengan aspek-aspek makna yang tidak looked up, tetapi worked out pada peristiwa penggunaan tertentu dan pragmatik berhubungan dengan penggunaan-penggunaan makna tersebut, oleh karena itu pragmatik dikatakan mengambil pendekatan fungsional.
Context independence vs. context dependence
Yang dimaksud dengan makna secara internal adalah makna yang bebas konteks (independent context); maksudnya, makna tersebut dapat diartikan tanpa adanya suatu konteks atau makna yang terdapat dalam kamus, sedangkan makna yang dikaji secara eksternal, yaitu makna yang terikat konteks (context dependent) maksudnya satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan tersebut dapat dijelaskan apabila ada suatu konteks, yaitu konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, dimana, dan apa tujuanya sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Tanpa memahami konteks, lawan tutur bahasa akan kesulitan memahami maksud penutur. Konteks di sini meliputi tuturan sebelumnya, penutur dalam peristiwa tutur, hubungan antar penutur, pengetahuan, tujuan, setting social dan fisik peristiwa tutur (Cruse, 2006:136).
Contoh :
1. Prestasi kerjanya yang bagus membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan yang kedua
2. Presiden itu sedang menuruni tangga pesawat
Dalam contoh di atas kata bagus dan presiden mempunyai makna semantik atau makna secara internal, sedangkan secara eksternal, bila dilihat dari penggunaanya kata bagus tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu juga presiden tidak selalu bermakna ‘kepala negara’ seperti dalam contoh:
3. Ayah : Bagaimana nilai ujianmu?
Budi : Iya, hanya dapat 50, pak.
Ayah : Bagus, besok jangan belajar.
4. Awas, presidennya datang!
Kata bagus dalam (3) tidak bermakna ‘baik’ atau tidak buruk’, tetapi sebaliknya. Sementara itu, bila kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata presiden tidak bermakna ‘kepala negara’, tetapi bermakna seseorang yang secara ironis pantas mendapatkan sebutan itu. Sehubungan dengan keterikatan itu tidak hanya bagus dalam dialog (3) bermakna ‘buruk’, melainkan besok jangan belajar dan nonton terus saja juga bermakna ‘besok rajin-rajinlah belajar’ dan ‘hentikan hobi menontonmu’.
Berlawanan dengan banyak formulasi yang telah muncul sejak awal perumusan Morris pada tahun 1938, perbedaan semantik-pragmatik tidak tidak sesuai antara satu perumusan dengan perumusan lainnya(Bach dalam Turner, 1999: 73).
Menurut Bach, perumusan perbedaan semantik-pragmatik dapat mengambil perbedaan dengan mengacu pada fakta-fakta bahwa:
• hanya isi literal yang relevan secara semantis
• beberapa ekspresi sensitif dalam hal konteks terhadap makna
• konteks yang dekat cukup relevan dengan semantik, namun untuk konteks luas lebih dekat ke pragmatik
• non-truth-conditional (kebenaran-tak-bersyarat) menggunakan informasi terkait agar bahasa dapat dikodekan
• aturan dalam menggunakan ekspresi tidak menentukan penggunaannya secara aktual
• kalimat yang diucapkan sebenarnya adalah fakta pragmatis
JENIS MAKNA
Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
v  Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada dimiliki ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal `sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai`; pinsil bermakna leksikal `sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang`; dan air bermakna leksikal `sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari`. Dengan contoh ini dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebernarnya, atau makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.
v  Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal `mengenakan atau memakai baju`; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal `mengendarai kuda`; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal `melakukan rekreasi`.
v  Makna kontektual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.
Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
Makna Referensial dan Non-referensial
v  Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata –kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dank arena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-kata deiktik, yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata yang termasuk pronominal, seperti dia, saya, dan kamu; kata-kata yang menyatakan ruang, seperti di sini, di sana,  dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata yang disebut kata penunjuk, seperti ini dan itu.
Makna Denotatif dan Makna Konotatif
v  Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif  `sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya`. Kata rombongan  bermakna denotatif `sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan`.
v  Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umapanya kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu.
Berkenaan dengan masalah konotasi ini, satu hal yang harus Anda ingat adalah bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain, antara satu daerah dengan daerah lain, atau antara satu masa dengan masa yang lain. Begitulah dengan kata babi di atas; berkonotasi negatif bagi yang beragama Islam, tetapi tidak berkonotasi negatif bagi yang tidak beragama Islam.
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
v  Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual `sejenis binatang berkaki  empat yang biasa dikendarai`; dan kata rumah memiliki makna konseptual `bangunan tempat tinggal manusia`. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
v  Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengans sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian; kata merah berasosiasi dengan `berani` atau juga `paham komunis`; dan kata buaya berasosiasi dengan `jahat` atau juga `kejahatan`.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati yang bermakna konseptual `sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum` digunakan untuk menyatakan perlambang `kesucian`.
Oleh Leech (1976) ke dalam makna asosiatif ini dimaksukkan juga yang disebut makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna stilistika berkenaan dengan pembedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Umpamanya, kita membedakan penggunaan kata rumah, pondok, kediaman, kondomium, istana, vila, dan wisma, yang semuanya memberi asosiasi yang berbeda terhadap penghuninya. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa lisan.
Contoh : “Tutup mulut kalian!” bentaknya kepada kami.
               “Coba, mohon diam sebentar!” katanya kepada kami.
Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Misalnya, kata tampan yang sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik  dan indah, hanya cocok atau hanya berkolokasi dengan kata yang memiliki ciri `pria`. Kita dapat mengatakan pemuda tampan, atau pangeran tampan, tetapi tidak dapat mengatakan *gadis tampan atau putri tampan. Jadi, kata tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis dan kata putri.
Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotative, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh di bawah ini.
Tangannya luka kena pecahan kaca.
Lengannya luka kena pecahan kata.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamanya, kata tangan dan lengan dalam ilmu kedokteran mempunyai makna yang berbeda.
Makna Idiom dan Peribahasa
v Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna `yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya`. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain adalah bentuk membanting tulang dengan makna `bekerja keras`, meja hijaui dengan makna `pengadilan`, dan sudah beratap sengi dengan makna `sudah tua`.
Biasanya dibedakan orang adanya dua macam idiom, yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau termasuk contoh idiom penuh. Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna `buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus`.
v Pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai pribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan kucing yang bermakna `dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur`. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai. Contoh lain, tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna `orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari harus melihatnya di dalam kamus; khususnya kamu peribahasa dan kamus idiom.
RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata. Frase, maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar; antara kalimat Dika menendang bola dengan bola ditendang Dika.
betul
 
benar
 
Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B bersinonim dengan satuan ujaran A. perhatikan bagan berikut!
                                                        
Antonim
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya, kata buruk berantonim dengan kata baik; kata mati berantonim dengan kata hidup; kata guru berantonim dengan kata murid.
Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat, (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting. Lihat contoh!
(1)   Kepalanya luka kena pecahan kaca
(2)   Kepala kantor itu bukan paman saya
(3)   Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor
(4)   Kepala jarum itu terbuat dari plastic
(5)   Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna yang dmiliki kata atau satuan ujaran itu.
Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Homonimi adalah kata-kata yang sama bunyi dan bentuknya tetapi mengandung makna dan pengertian yang berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya, antara kata pacar yang bermakna `inai` dan kata pacar yang bermakna `kekasih`; antara kata bisa yang berarti `racun ular` dan kata bisa yang berarti `sanggup`.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
  1. bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
  2. bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran , tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama atau berbeda. Sedangkan homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Homonimi yang homograf dan homofon adalah sama bunyi sama bentuknya.
Contoh: bisa  sanggup, dapat
    bisa  racun ular
    jagal  pedagang kecil
    jagal  orang yang bertugas menyembelih binatang
    padan  banding
    padan  batas
    padan  janji
    padan  curang
    padan  layar
Homonimi yang tidak homograf tetapi homofon adalah bentuknya tidak sama tetapi bunyinya sama.
Contoh: bang  bentuk singkatan dari abang
    bank  lembaga yang mengurus uang
    sangsi  ragu
    sanksi  akibat
    syarat  janji
    sarat  penuh dan berat
Homonimi yang homograf tidak homofon sama bentuk tetapi tidak bunyinya.
Contoh: teras  hati kayu atau bagian dalam kayu
    teras  pegawai utama
    teras  bidang tanah datar yang miring atau lebih tinggi dari yang lain
Hiponimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ahíla ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna statu ungkapan lain.
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata sifat.
Merpati berhoponim dengan burung, burung bukan berhiponim dengan merpati, melainkan berhipernim. Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung. Burung  adalah hipernim dari merpati.
Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya dengan (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru.
Anak         dosen          yang           nakal
                    


 

 
Anak         dosen          yang           nakal
Bentuk ujaran anak dosen yang nakal juga bermakna ganda. Maknanya mungkin (1) `anak itu yang nakal`, atau (2) `dosen itu yang nakal`. Kedua makna itu karena tafsiran gramatikalnya tidak sama.
Redundansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
Misalnya kalimat bola itu ditendang oleh Dika, tidak akan berbeda maknanya bila dikatan bola ditendang Dika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundansi, berlebih-lebihan.
Pengertian Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
B. Interaksi dan Sopan Santun
Seperti telah dikatakan di awal bab ini, hal-hal di luar bahasa mempengaruhi pemahaman kita pada hal di dalam bahasa. Untuk memahami apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan, misalnya, kita perlu mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak sosial di antara mereka, atau status relatif di anatara mereka. Marilah kita perhatikan penggalan-penggalan percakapan berikut ini. (1) A: Setelah ini, kerjakan yang lain. B: Baik, Bu. (2) C: Bantuin, dong! D: Sabar sedikit kenapa, sih?
Sebagai penutur bahasa Indonesia, Anda akan dengan mudah mengatakan bahwa di dalam penggalan percakapan (1) status social A lebih tinggi dari B, sedangkan di dalam penggalan percakapan (2) C dan D mempunyai kedudukan yang sama. Sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat tertentu terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santu. Bentuk sopan santun dapat diungkapkan dengan berbagai hal. Salah satu penanda sopan santun adalah penggunaan bentuk pronominal tertentu dalam percakapan. Di dalam bahasa Indonesia kita jumpai anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak bicara. Di dalam bahasa Prancis kita jumpai pembedaan kata tu dan vouz untuk menyebut orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun adalah pengungkapan suatu hal dengan cara tidak langsung. Contoh ketidaklangsungan dapat kita lihat dalam penggalan percakapan berikut ini. (3) A: Hari ini ada acara? B : Kenapa ? A : Kita makan-makan, yuk! B: Wah, terima kasih, deh. Saya sedang banyak tugas! Di dalam penggalan percakapan di atas, B secara tidak langsung menolak ajakan A untuk makan. B sama sekali tidak mengatakan kata tidak. Akan tetapi, A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan B adalah sebuah penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan oleh B bukanlah bentuk penghargaan terhadap suatu pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus. Hal ini juga diperkuat oleh kalimat yang diujarkan B selanjutnya. Di dalam percakapan, ketidaklangsungan juga ditemukan dalam bentuk pra-urutan (pre-sequences). Kita juga sering menemukannya dalam situasi sehari-hari. Di dalam penggalan percakapan (3) di atas kita melihat pra-ajakan pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. Di dalam penggalan percakapan (4) kita melihat prapengumuman pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. (4) A: Sebelumnya saya mohon maaf. B: Ada apa, Pak? A: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa. Kita dapat melihat bahwa suatu hal yang diungkapkan dalam percakapan akan lebih berterima jika ada semacam “pembuka” di dalamnya. Permohonan maaf dari A pada contoh (4) di atas merupakan sebuah pengantar untuk penyampaian maksud yang sebenarnya. Salah satu bentuk ketidaklangsungan dapat ditemukan di dalam mkasud yang tersirat di dalam suatu ujaran. Di dalam hal ini, ketidaklangsungan mensyaratkan kemampuan seseorang untuk menangkap maksud yang tersirat, misalnya kita perhatikan contoh berikut. (5) A: Tong sampah sudah penuh. B: Tunggu, ya. Aku baca Koran dulu. Nanti kubuang, deh ! Di dalam contoh di atas, A tidak menyuruh B secara langsung untuk membuang sampah. Akan tetapi, B dapat menangkap maksud yeng tersirta di dalam ujran A. dapat kita bayangkan bahwa setelah B membaca Koran ia akan membuang sampah karena hal ini dapat kita simpulkan dari jawaban B di atas. Jika B tidak peka terhadap maksud A, tentu jawabannya akan berbeda. Bayangkan saja kalau B hanya menjawab, “Ya, betul.”
C. Implikatur Percakapan
Di dalam bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa di dalam percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran ini disebut implikatur. Pembicara di dalam percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan denga situasi di dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh pendengarnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam kajian pragmatic, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice (1975) menungkapkan bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
a) Maksim Kuantitas Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Kalimat (6) menunjukkan kontribusi yang cukup kepada mitra tuturnya. Bandingkanlah dengan kalimat (7) yang tersa berlebihan. (6) Anak gadis saya sekarang sudah punya pacar. (7) Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. Di dalam kalimat (7) kata gadis sudah mencakup makan ‘perempuan’ sehingga kata perempuan dalam kalimat tersebut memberikan kontribusi yang berlebih. Maksim kuantitas juga dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas, yang menunjukkan keterbatas penutur dalam mengungkapkan informasi. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan di awal kalimat seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan sebagainya.
 b) Maksim Kualitas Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Misalnya, seorang mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya mengatakan bahwa Kampus Baru Universitas Indonesia terletak di Depok., bukan kota lain, kecuali jika ia benar-benar tidak tahu. Kadang kala, penutur tidak merasa yakin dengan apa yang dinformasikannya. Ada cara untuk mengungkapkan keraguan seperti itu tanpa harus menyalahi maksim kualitas. Seperti halnya maksim kuantitas, pemenuhan maksim kualitas oleh ungkapan tertentu. Ungkapan di awal kalimat seperti setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya, menunjukkan pembatas yang memenuhi maksim kualitas.
c) Maksim Relevansi Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Bandingkanlah penggalan percakapan (8) dan (9) berikut ini. (8) A: Kamu mau minum apa? B: Yang hangat-hangat saja. (9) C: Kamu mau minum apa? D : Sudah saya cuci kemarin. Di dalam penggalan percakapan (8) kita dapat melihat bahwa B sudah mengungkapkan jawaban yang relevan atas pertanyaan A. Di dalam penggalan percakapan (9), sebagai penutur bahasa Indonesia kita dapat mengerti bahwa jawaban D bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan C. Topik-topik yang berbeda di dalam sebuah percakapan dapat menjdi relevan jika mempunyai kaitan. Di dalam hubungannya dengan maksim relevansi, kaitan ini dapat dilihat sebagai pembatas. Ungkapan-ungkapam di awal kalimat seperti Ngomong-ngomong…, Sambil lalu…, atau By the way… merupakan pembatas yang memenuhi maksim relevansi.
d) Maksim Cara Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menfsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan percakapan (10) dan (11) (10) A: Mau yang mana, komedi atau horor? B: Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus. (11) C: Mau yang mana, komedi atau horor? D: Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua. Tapi ceritanya tidak jelas arahnya. Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak mengerti. C: Jadi kamu pilih yang mana? Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita dapat melihat bahwa jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dari jawaban D. Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalubermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara dapat menyatakan ungkapan seperti Bagaimana kalau…, Menurut saya… dan sebagainya.
 D. Pelanggaran Terhadap Maksim Percakapan
            Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal, kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor. Ada berbagai bentuk pelanggaran di dalam maksim-maksim percakapan. Tentu kita pun pernah mengalami situasi yang janggal karena ada pembicara yang bertele-tele menyampaikan maksudnya, ada kesalahpahaman, ketidaksinkronan, dan sebagainya. Pengetahaun kita mengenai maksim-maksim di atas akan sangat membantu kita dalam memahami situasi yang demikian.
E. Tindak Tutur
Di dalam pertuturan ada pertuturan lokusioner, pertuturan ilokusioner, dan pertuturan perlokusioner. Pertuturan lokusioner adalah dasar tindakan dalam suatu ujaran, atau pengungkapan bahasa. Di dalam pengungkapan itu ada tindakan atau maksud yang menyertai ujaran tersebut, yang disebut pertuturan ilokusioner. Pengungkapan bahasa tentunya mempunyai maksud, dan maksud pengunkapan itu diharapkan mempunyai pengaruh. Pengaruh dari pertuturan ilokusioner dan pertuturan lokusioner itulah yang disebut pertuturan perlokusioner. Pertuturan ilokusioner bertujuan menghasilkan ujaran yang dikenal dengan daya ilokusi ujaran. Dengan daya ilokusi, seorang penutur menyampaikan amanatnya di dalam percakapan, kemudian amanat itu dipahami atau ditanggapi oleh pendengar. Berdasarkan tujuannya, pertututan dapat dikelompokkan seperti berikut ini.
1. Asertif, yang melibatkan penutur kepada kebenaran atau kecocokan proposisi, misalnya menyatakan, menyarankan, dan melaporkan.
2. Direktif, yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari mitra tutur, misalnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan.
3. Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat selanjutnya, misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
4. Ekspresif, yang memperlihatkan sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima kasih, mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf.
5. Deklaratif, yang menunjukkan perubahan setelah diujarkan, misalnya membaptiskan, menceraikan, menikahkan, dan menyatakan.
F. Referensi dan Inferensi
Referensi adalah hubungan di antara unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa dengan lambang yang dipakai untuk mewakili atau menggambarkannya. Referensi di dalam kajian pragmatik merupakan cara merujuk sesuatu melalui bentuk bahasa yang dipakai oleh penutur atau penulis untuk menyampaikan sesuatu kepada mitra tutur atau pembaca. Berkaitan dengan referensi adalah inferensi. Inferensi adalah pengetahuan tambahan yang dipakai oleh mitra tutur atau pembaca untuk memahami apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit di dalam ujaran.
Untuk memahami referensi dan inferensi, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (1) Seseorang suka mendengarkan musik dangdut. (2) Orang itu suka mendengarkan musik dangdut. (3) Orang suka mendengarkan musik dangdut. Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita mengetahui bahwa seseorang adalah ‘orang yang tidak dikenal’ dan orang itu adalah orang yang ada didekat kita bicara. Kalimat (1) diatas mempunyai referensi tak takrif, artinya referensi yang tidak tentu. Kalimat (2) mempunyai takrif, apa yang dirujuknya jelas dan bertolak pada rujukan tertentu, sedangkan kalimat (3) mempunyai referensi generic, tidak merujuk kepada sesuatu yang khusus, dan lebih menekankan pada sesuatu yang umum.
 G. Deiksis
Deiksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitanerat dengan konteks penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu. Ketiga jenis deiksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis dan pembaca, yang berada di dalam konteks yang sama.
a. Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relative penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu. Marilah kita lihat contoh berikut. A dan B sedang terlibat di dalam percakapan. A mengambil sepotong kue dan mengatakan, “Kue ini enak.” Apa yang ditunjuk oleh A, kue ini, tentu akan disebut B sebagai kue itu. Hal ini terjadi karena titik tolak A dan B berbeda. Kita juga mengenal kata-kata seperti di sini, di situ dan ini merujuk kepada sesuatu yang kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh penutur. Selain itu, ada kata-kata seperti di sana dan itu yang merujuk pada sesuatu yang jauh atau tidak kelihatan, atau jaraknya tidak terjangkau oleh penutur. Dalam hal tertentu, tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita hendak menunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya kita memakai kata begini. Jika kita hendak merujuk kepada suatu tindakan., kita memakai kata begitu.
b. Deiksis Persona
            Deiksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang pertama Orang kedua Orang ketiga aku, saya engkau, kau, kamu, anda ia, dia, beliau kami, kita kamu, kalian mereka Kadang-kadang penutur bahasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. Di antara penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kamu atau saya, melaikan juga Bapak, Ibu, atau Saudara.
 c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relative penutur atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu. Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan. 
 KESIMPULAN
Semantik dan pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang disebut klasifikasi makna, relasi makna, erubahan makna, analisis makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan dalam pragmatik kita mengenal yang disebut interaksi dan sopan santun, implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan inferensi serta deiksis. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pragmatik berhubungan dengan pemahaman kita terhadap hal-hal di luar bahasa. Akan tetapi, hal-hal yang dibicarakan di dalam pragmatik sangat erat pula kaitannya dengan hal-hal di dalam bahasa. Adapun semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna yaitu makna kata dan makna kalimat.