Prinsip Kesantunan Berbahasa

PRINSIP KESANTUNAN/KESOPANAN
Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Dewa Putu Wijana, 1996).
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan
A.   MAKSIM KESANTUNAN LEECH
1.     Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)
Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah              :  “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.”
Tamu                           :  “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu.

2.    Maksim Kedermawanan
Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Anak kos A              : “Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang
kotor”
Anak kos B              : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B
3. Maksim Penghargaan
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Dosen A            : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
Dosen B            : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.”
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B.
4.    Maksim Kesederhanaan
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Ibu A           : “Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.”
Ibu B            : ” Waduh..nanti grogi aku.”
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: ” Waduh..nanti grogi aku.”
5.    Maksim Pemufakatan/Kecocokan
Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Guru A               : “Ruangannya gelap ya, Bu.”
Guru B               : “He’eh. Saklarnya mana ya?”
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang.
6.    Maksim Kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Mahasiswa A  : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Mahasiswa B   : “Wah, selamat ya. Semoga sukses.”
B.    MODEL KESANTUNAN BROWN – LEVINSON
1.    Keinginan Wajah
Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seolah-olah ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai orang lain. Jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang merupakan ancaman terhadap ekspektasi orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan sebagai Face Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang dapat mengatakan sesuatu yang memiliki kemungkinan ancaman lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face Saving Act (FSA). Perhatikan contoh berikut:
Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang mencoba untuk tidur. Si suami dapat melakukan FTA: “Aku akan mengatakan padanya untuk mematikan musik berisik itu sekarang juga!” atau si istri dapat melakukan FSA: “Barangkali kita dapat memintanya untuk berhenti memainkan musik itu karena sekarang sudah mulai larut dan kita perlu tidur”.
2.    Negative dan Positive Face
Menurut Brown dan levinson, negative face adalah  the basic claim to territories, personal preserves, and rights to non-distraction dan positive face adalah the positive and consistent image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan kata lain, negative face adalah kebutuhan untuk mandiri dan positive face adalah kebutuhan untuk terkoneksi (menjalin hubungan). Sehubungan dengan negative dan positive face, maka dapat disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative face dan mementingkan kepentingan orang lain, bahkan termasuk permintaan maaf atas gangguan yang diciptakan. FSA seperti ini dinamakan negative politeness. Sedangkan FSA yang berorientasi terhadap positive face seseorang akan cenderung menunjukkan solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) menginginkan hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA dalam bentuk ini dinamakan positive politeness.
Secara singkat, Yule (2010:135)membedakan positive face dan negative face sebagai berikut.

Positive Face
Negative Face
Keinginan
Pendekatan sosial
Kebebasan dari pembebanan
Kebutuhan
  • untuk terhubung
  • Untuk diterima sebagai anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama
  • untuk mandiri
  • Untuk memiliki kebebasan bertindak, dan tidak terbebani

Penekanan
Pada solidaritas dan kesamaan pada penghormatan dan kepedulian
3. Negative and Positive Politeness
Negative politeness memberikan perhatian pada negative face, dengan menerapkan jarak antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan, dan memberikan mitra tutur pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”. Misal, di sebuah gedung student center, Anda meminta pertolongan untuk menyebutkan alamat situs yang Anda perlukan dengan berkata pada David,
“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tapi barangkali Anda bisa memberitahukan alamat situs yang dosen bicarakan tadi pagi?”
Contoh yang lain,
“Maaf mengganggu, Bisakah saya meminjam uang lima ratus ribu, ehmm, jika kamu Anda tidak membutuhkannya sekarang?
Adanya pemberian pilihan berpengaruh pada tingkat kesantunan. Semakin besar kemungkinan pilihan jawaban “tidak” diberikan, maka semakin sopan lah tuturan tersebut.
Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan, membuat orang lain merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) memiliki tujuan yang sama. Misal Anda masih berada di student center dan masih memerlukan bantuan, kali ini Anda meminta bantuan pada teman dekat Anda, Rudi.
“Rudi, kamu kan punya memori yang baik dan keren, akan lebih keren jika kamu memberitahu saya alamat situs yang dimaksud pak Handano tadi pagi.”
4.    Superstrategies Dalam Kesopanan
Dalam setiap tindak tutur, kita selalu memiliki banyak ekspresi tuturan. Brown and Levinson (1987) menyarankan beberapa superstrategiesi bagi pengguna bahasa untuk bias berkomunikasi dengan cara yang sopan (dikutip dari Yule, 1996, pp.62-66).” Contoh berikut ini akan member penjelasan mengenai superstrategies. Misalnya Anda sedang mengikuti ujian. Anda kemudian menyadari bahwa anda tidak membawa pena. Anda yakin teman sekelas anda akan memberi bantuan. Dalam kasus ini, pertama-tama anda harus membuat keputusan apakah mengatakan sesuatu atau tidak.
a.    Tidak mengatakan sesuatu
Anda dapat langsung mencari di dalam tas tanpa mengatakan apapun menunggu teman anda bertanya atau menawarkan bantuan. Pendekatan ‘tidak mengatakan apapun’ mungkin berhasil atau tidak berhasil. Hal tersebut bergantung pada bagaimana orang lain menginterpretasikan tindakan anda.
b.    Mengatakan sesuatu : off record
Jika anda memutuskan untuk mengatakan sesuatu, anda bisa berkata: “Oh dear. I Forgot my pen. Sama halnya dengan pendekatan ‘tidak mengatakan sesuatu”, mengatakan sesuatu: off record ini juga memiliki kemungkinan untuk berhasil atau pun gagal. Tidak ada jaminan bahwa orang lain pasti memahami maksud anda.
c.     Mengatakan sesuatuon record
Berlawanan dengan pernyataan off record, anda bisa mengekspresikan kebutuhan anda dengan langsung berbicara pada seseorang. Cara yang paling eksplisit untuk menyatakan kebutuhan anda adalah dengan tegas on record. Anda bisa secara langsung meminta bantuan dengan mengatakan: Give me a pen! Permintaan yang tegas, mengikuti  maksim Grice adalah benar-benar langsung dan ringkas. Meskipun demikian, hal ini memiliki potensi mengancam muka mitra tutur jika permintaan ini dianggap sebagai sebuah perintah. Untuk menghindari hal tersebut, anda harus melakukan face saving acts yang menggunakan strategi kesopanan positif dan negative untuk meredam ancaman.
  • Strategi kesopanan positif berorientasi pada usaha untuk memperbaiki ancaman positive face pendengar. Ketika anda menggunakan kesopanan positif, cobalah untuk membayangkan bahwa pendengar memiliki dasar yang sama atau bahkan memiliki hubungan pertemanan dengan anda. Menggunakan bahasa identitas dalam sebuah kelompok, anda bisa berkata: (How about letting me use your pen?)” bentuk let menandai adanya rasa solidaritas di antara pembicara dan pendengar. Namun demikian, tetap saja strategi ini memiliki resiko untuk ditolak jika si pendengar berbeda tingkat social dengan anda. Dalam kasus ini, strategi kesopanan sebaliknya mungkin lebih tepat untuk digunakan.
Strategi kesopanan negatif tidak selalu bermaksud tidak baik. Kenyataannya, strategi ini bermaksud memperbaiki fakta negative yang mengancam pendengar. Anda dapat meminta bantuan secara tidak langsung dengan bertanya Could you lend me a pen?” atau Sorry to bother you, but may I borrow your pen?” Pertanyaan-pertanyaan ini didahului oleh ungkapan permintaan maaf untuk pembebanan yang menunjukkan keprihatinan anda tentang kerugian untuk pendengar. Selain itu, meminta izin untuk mengajukan pertanyaan lebih sopan.
C. SKALA KESANTUNAN
Sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga skala itu antara lain:
1.    Skala kesantunan Leech
Di dalam model kesantunan Leech, setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan Leech selengkapnya.
a.    Cost benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer
Menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan dari mitra tutur, akan semakin dipandang tidak snatunlah tuturan itu.
b.    Optimality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a specific linguistic act
Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
c.     Indirectness scale: indicating the amount of inferencing required of the hearerin order to establish the intended speaker meaning
Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsngnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.
d.    Authority scale : representing the status relationship between speaker and hearer.
Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
e.    Social distance scale: Indicating the degree of familiarity between speaker and hearer.
Menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecendurungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.
2.    Skala kesantunan Brown – Levinson
a. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur
Banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.
b. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur
Didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur atau dapat dikatakan didasarkan pada speaker and hearer relative power (peringkat kekuasaan atau power rating).
c. Skala peringkat tindak tutur atau disebut dengan rank rating atau lengkapnya the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.
3.    Skala kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur.
a. Skala pertama atau skala formalitas
Dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh.
b. Skala kedua atau skala ketidaktegasan/skala pilihan
Menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua pihak. Tidk diperbolehkan terlalu tegang atau kaku.
c. Skala ketiga atau peringkat kesekawanan atau kesamaan
Menunjukkan bahwa agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.
D. KESANTUNAN DAN KONTEKS
Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Kesantunan terletak bukan pada bentuk dan kata-kata, melainkan pada fungsi dan makna sosial yang diacu. Jika penutur mengatakan bentuk yang lebih sopan daripada konteks yang diperlukan, mitra tutur akan menduga bahwa ada maksud khusus yang tersembunyi.
Kesantunan tidak sama dengan penghormatan yang menggunakan bentuk formal yang mengekspresikan adanya jarak dan penghargaan terhadap orang yang berstatus lebih tinggi, dan biasanya memasukkan unsur pilihan. Penghormatan sudah ada di dalam bahasa, seperti Korea ata Jepang, dan dapat dilihat pada kata ganti orang di beberapa bahasa di Eropa (bahasa Perancis: tu/vous). Namun sangat jarang dijumpai hal yang serupa secara gramatikal dalam bahasa Inggris, meskipun masih dapat ditemui bentuk penghormatan seperti penggunaan “Sir” dan “Madam”. Sangat dimungkinkan untuk mempraktekkan penghormatan tanpa harus menjadi sopan.
Misal:
A: Does the honourable member for Crawley wish to intervene?
B: No.
A: the last time I saw a mouth like that it had a hook in it.
1.    Konteks Situasi
Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut”. Misal, ketika kita hendak meminjam uang, kita cenderung mengatakan:
“Bisakah saya meminjam lima ratus ribu, kalau kamu sedang tidak memerlukannya sekarang?”
Jika uang yang dipinjam dalam nominal yang lebih kecil,
“apa saya bisa pinjam lima ribu rupiah untuk bayar fotokopian?”
Konteks yang kedua adalah formalitas. Semakin formal sebuah situasi, semakin tidak langsung sebuah ujaran yang dihasilkan. Misal, ketika kita sedang dalam sebuah seminar dan kita terlibat dalam sebuah perdebatan, kita akan mengatakan,
“Bisakah saya melanjutkan apa yang sebelumnya saya sampaikan…”
Namun, ketika perdebatan terjadi diantara teman karib, kita akan mengatakan,
“Tunggu, aku belum selesai ngomong, …..”
2.    Konteks Sosial
Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas.
3.     Konteks Budaya
Akan tetapi, hubungan antara ketidaklangsungan dan variabel sosial tidak sesederhana itu. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat.
Contoh:
Di Cuba, misalnya, di antara teman tidak boleh ada jarak sama sekali, maka ketika seorang teman mengatakan ‘terima kasih’ ketika disuguhkan secangkir kopi dapat menyebabkan kesalahpahaman dan menciptakan penghalang di antara kedua orang tersebut.
E.      ANTARA PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN
Dalam Leech (1993) dijelaskan bahwa Prinsip kerja sama dibutuhkan untuk mempermudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya; penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-based approach). Tetapi prinsip kerja sama itu sendiri tidak dapat menjelaskan, mengapa manusia sering menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud; dan apa hubungan antara makna dan daya dalam jenis-jenis kalimat yang bukan kalimat pernyataan/deklaratif (non-declarative). Maka, di sinilah peranan kesopanan menjadi penting.
Ada sebagian masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain. Dalam hal ini harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerja sama lemah sekali bila kasus-kasus perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu, prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu.
Fungsi sosial umum yang dijalankan oleh prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan tidak boleh luput dari perhatian, dan hubungan ‘tawar-menawar’ yang ada antara kedua prinsip tersebut. Prinsip kerja sama memungkinkan seorang peserta percakapan untuk berkomunikasi dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerja sama. Dalam hal ini prinsip kerja sama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan ilokusi atau tujuan wacana. Namun dapat dikatakan bahwa dalam hal atur-mengatur tuturan peserta, prinsip kesopanan berperan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bekerja sama. Dalam situasi tertentu, prinsip kesopanan menduduki tempat kedua. Hal ini terjadi pada suatu kegiatan kerja sama berupa pertukaran informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa antara prinsip kerja sama dengan prinsip kesopanan selalu tidak sejalan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan Grice dalam Leech yang menyatakan bahwa kalau kita ingin sopan kita sering dihadapkan pada benturan antara prinsip kerja sama dengan prinsip kesopanan sehingga kita harus memutuskan sejauh mana kita akan tawar-menawar antara prinsip kerja sama dengan prinsip kesopanan.
setyapragmatik.blogspot.com


DAFTAR PUSTAKA
Cutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse: A Resource Book for Students. New York: Routledge
Leech, Geoffrey. 1991. Principle of Pragmatics. London: Longman
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press

1 komentar:

  1. Memang benar kalau ada pernyataan bahwa kata-kamu menggambarkan kelasmu.

    BalasHapus